Beranda | Artikel
Apakah Perayaan Isra Miraj Bidah?
Jumat, 12 Maret 2021

Bulan Rajab, bulan yang dihormati manusia dan termasuk bulan haram (asyhurulhurum). Pada bulan ini juga, sebagian kaum muslimin mengetahui adanya satu peristiwa yang sangat luar biasa. Yaitu perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Baitul Maqdis, kemudian ke shidratul muntaha menghadap pencipta alam semesta dan pemeliharanya. Peristiwa yang tidak akan dilupakan kaum muslimin, karena peristiwa itu menjadi tempat diperintahkan shalat lima waktu sehari semalam. Shalat yang telah dijadikan sebagai tiang agama ini tidak lepas dari peristiwa isra’ dan mi’raj Rasulullah . Peristiwa agung ini memberikan inspirasi sebagian kaum muslimin memperingatinya setiap tahun. Akan tetapi apakah peristiwa ini harus dirayakan? Apakah perayaan yang dilakukan kaum muslimin merupakan kebaikan? Ataukah merupakan bid’ah yang merusak agama? Pembahasan kali ini mudah-mudahan dapat menjelaskan hal tersebut.

KAPAN ISRA DAN MI’RAJ TERJADI?

Pertanyaan yang seharusnya terbersit dalam diri setiap muslim ketika mendengar peristiwa tersebut. Benarkah terjadi pada tanggal 27 Rajab?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu melihat kembali pendapat para ulama yang ternyata berselisih pendapat dalam penentuan waktu isra’dan mi’raj.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqaalaniy1 berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai waktu mi’raj. Ada yang mengatakan sebelum kenabian; pendapat ini ganjil, kecuali kalau dianggap terjadi dalam mimpi. Yang lainnya (kebanyakan) ulama berpendapat setelah kenabian; mereka ini juga berselisih. Diantara mereka ada yang mengatakan setahun sebelum hijrah. Demikian pendapat Ibnu Saad dan yang lainnya, dirajihkan An Nawawiy dan Ibnu Hazm. Bahkan Ibnu Hazm berlebihan dengan menukil ijma’, bahwa peristiwa itu terjadi pada bulan Rabiul Awal. Klaim ijma’ ini tertolak, karena terdapat perselisihan yang banyak lebih dari sepuluh pendapat.” Kemudian beliau menyebutkan pendapat para ulama tersebut satu persatu.

  • a. Pendapat pertama mengatakan, “Setahun sebelum hijrah, tepatnya bulan Rabi’ul Awal”. Demikian pendapat Ibnu Saad dan yang lainnya serta dirajihkan An Nawawiy
  • b. Kedua mengatakan, “Delapan bulan sebelum hijrah, tepatnya bulan Rajab.” Ini menurut pendapat Ibnu Hazm, ketika berkata, “Terjadi di bulan Rajab tahun 12 kenabian.”
  • c. Ketiga mengatakan, “Enam bulan sebelum hijrah, tepatnya bulan Ramadhan”. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Ar Rabie’ bin Saalim.
  • d. Keempat mengatakan, “Sebelas bulan sebelum hijrah, tepatnya bulan Rabiul Akhir.” Ini pendapat Ibrahim bin Ishaq Al Harbiy, ketika berkata. “Terjadi pada bulan Rabiul Akhir, setahun sebelum bürah.” Pendapat ini dirajihkan Ibnul Munayyir dalam Syarah As Siirah karya Ibnu Abdil Barr
  • e. Kelima mengatakan, “Setahun dua bulan sebelum hijrah.” Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdil Barr.
  • f. Keenam mengatakan, “Setahun tiga bulan sebelum hijrah.” Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Faaris.
  • g Ketujuh mengatakan, “Setahun lima bulan sebelum hijrah.” Demikian pendapat As Suddiy.
  • h. Kedelapan mengatakan, “Delapan belas bulan sebelum hijrah, tepatnya dibulan Ramadhan.” Pendapat ini disampaikan Ibnu Saad, Ibnu Abi Subrah dan Ibnu Abdil Barr.
  • i. Kesembilan mengatakan, “Bulan Rajab tiga tahun sebelum hijrah.” Pendapat ini disampaikan Ibnul Atsir
  • j. Kesepuluh mengatakan, “Lima tahun sebelum hijrah.” Pendapat ini menurut Imam Az Zuhriy dan dirajihkan Al Qadhi ‘Iyaadh. 3

Oleh karena itu, benarlah yang dikatakan Ibnu Taimiyah; bahwa tidak ada dalil yang ma’lum, yang menunjukkan bulan dan tidak pula tanggalnya. Bahkan pemberitaannya terputus dan diperselisihkan, tidak ada yang dapat memastikannya 4.
Bahkan Imam Abu Syaamah mengatakan, “Dan para ahli hikayat menyebutkan isra’ dan mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Menurut ahli ta’dil dan jarh (ulama hadits) hal itu merupakan kedustaan”.

HUKUM MEMPERINGATI ISRA’DAN MI’RAJ

Mungkinkah Islam sebagai agama yang sempurna telah mensyariatkan sesuatu yang belum jelas ketentuan waktunya? Cukuplah hal ini sebagai indikator kuat mengenai bid’ahnya perayaan isra’dan mi’raj yang banyak diperingati oleh kaum muslimin. Apalagi telah diketahui, bahwa para ulama salaf telah sepakat (konsensus) mengadakan perayaan yang dilakukan secara berulang-ulang (musim yang tidak ada syariatnya termasuk bid’ah dan dilarang Rasulullah.

وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإن كلَّ محدثةٍ بدعةٌ وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ

Hati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap kebida’han itu Sesat. (Riwayat At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

 مَن أَحْدَثَ في أَمْرِنَا هذا ما ليسَ فِيهِ، فَهو رَدٌّ

Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkarah. (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

 مَن أَحْدَثَ في أَمْرِنَا هذا ما ليسَ فِيهِ، فَهو رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya, maka dia tertolak. (Riwayat Muslim).

Peringatan isra’dan mi’raj termasuk perkara baru yang tidak pernah dilakukan para sahabat dan tabi’in maupun orang-orang yang setelah mereka dari para salaf umat ini, padahal mereka merupakan orang yang paling semangat mencari dan mengamalkan kebaikan dan amal shaleh 6.

Pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika berbicara tentang keutamaan malam isra’dan mi’raj dan lailatul qadar, beliau berkata, “……….Dan tidak seorangpun dari kaum muslimin mengetahui, bahwa malam isra’ dan mi’raj memiliki keutaman (atas selainnya), apalagi dengan malam qadar. Demikian juga (tidak diketahui), bahwa para sahabat dan orang (yang mengikutinya dengan baik) berniat mengkhususkan sesuatu pada malam isra’dan mi’raj; tidak juga mereka mengingatnya. Sehingga tidak diketahui kapan malam tersebut terjadi; walaupun peristiwa isra’ merupakan keutamaan beliau yang besar. Demikianlah, tidak disyari’atkan pengkhususan malam tersebut dan tidak juga tempatnya dengan satu ibadah syar’i. Bahkan gua Hira, tempat pertama kali turun wahyu dan beliau bersendirian di sana (sebelum kenabiaan), beliau atau salah seorang sahabatnya tidak pernah bepergian ke sana (setelah kenabian) selama berada di Makkah. Tidak pula mengkhususkan hari turunnya wahyu dengan ibadah atau lainnya. Tidak pula mengkhususkan tempat pertama kali turun wahyu dengan sesuatu. Maka barang siapa mengkhususkan tempat dan zaman yang diinginkan dengan ibadah karena hal tersebut dan yang semisalnya, maka dia ‘termasuk ahli kitab yang telah menjadikan hari kelahiran Isa as musim dan ibadah seperti hari natal.” 7

Untuk lebih jelasnya kami ketengahkan fatwa sebagian ulama tentang hukum perayaan ini :

1. An Nahaast’ 8 berkata, “Perayaan malam isra’dan mi’raj merupakan kebid’ahan besar dalam agama, dan kebid’ahan yang dibuat-buat oleh teman-temannya Syetan” 9

2. Ibnul Haaji 10 berkata, “Diantara kebid’ahan yang mereka buat pada bulan Rajab ialah malam dua puluh tujuh yang merupakan malam isra’ dan mi’raj.” 11

3. Fatwa Syeikh Muhammad bin Ibrahim Ali Asy Syeikh 12 dalam menjawab undangan yang diterima dari Rabithah Alam Islamiy untuk menghadiri salah satu peringatan isra’ dan mi’raj; setelah ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Seperti ini tidak disyari’atkan, dengan dasar Al Qur’an, As Sunnah, istishhab dan akal.

Adapun dalam Al Qur’an, Allah berfirman;

ۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Pada hari ini telah Aku semparnakan untuk kamu agamamu dan telah aku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu. (QS Al-Maidah:3)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS-An Nisa’ 4:59)

Kembali kepada Allah berarti kembali kepada Al Ouran, dan kembali kepada Rasulullah berarti merujuk kepada sunnahnya setelah beliau meninggal dunia.

Demikian juga firmanNya,

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Ali Imran 3:31)

ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS An-Nuur 24: 63)

Adapun dalil dalam Sunnah;

  • Pertama, hadits shahih dalam shahihain dari Aisyah , bahwa Rasulullah bersabda,

مَن أَحْدَثَ في أَمْرِنَا هذا ما ليسَ فِيهِ، فَهو رَدٌّ

Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

مَن عَمِلَ عَمَلًا ليسَ عليه أمْرُنا فَهو رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya maka dia tertolak. (Riwayat Muslim).

  • Kedua, riwayat At-Tirmidzi dan beliau shahihkan; Ibnu Majah. Ibnu Hibaan dalam shahihnya dari Irbaadh bin Saariyah , beliau berkata, Rasulullah s bersabda,

وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإن كلَّ محدثةٍ بدعةٌ

Hati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bid’ah.

  • Ketiga, riwayat Ahmad, Al Bazaar dari Ghadhiif bahwa Nabi e bersabda,

ما أحدثَ قومٌ بدعةً إلَّا رُفِعَ مثلُها منَ السُّنَّةِ

Tidaklah satu kaum berbuat bid’ah kecuali dihilangkan sepertinya dari Sunnah.

Dan diriwayatkan oleh Ath Thabraani dengan lafadz,

 مَا مِن أمَّةٍ ابتدَعت بعدَ نبيِّها بِدعةَ إلَّا أضاعَت مثلَها منَ السُّنَّةِ

Tidak ada umat yang melakukan kebid’ahan setelah nabinya, kecuali dihilangkan semisalnya dari sunnah

  • Keempat, riwayat Ibnu Majah. Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik beliau berkata, Rasulullah 5 telah bersabda,

أبَى اللهُ أن يقبلَ عملَ صاحبِ بدعةٍ حتَّى يدعَ بدعتَه

Allah enggan menerima amalan pelaku bid’ah sehingga (dia) meninggalkan kebid’ahannya.

Dan dalam riwayat Ath Thabrani dengan lafadz,

 إنَّ الله حجب التَّوبةَ عن كلِّ صاحبِ بدعةٍ حتَّى يدعَ بدعتَه

Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua pelaku bid’ah sehingga meninggalkan kebid’ahannya.

Adapun Istishhaab

Hal ini tidak ada dasar perintahnya. Pada asalnya peribadatan bersifat tauqifiyah. Sehingga tidak dikatakan, ‘ibadah ini disyariatkan kecuali ada dalil Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (yang melarangnya)’. Dan tidak pula dikatakan, ‘ini diperbolehkan karena termasuk maslahat mursalah, istihsaan (anggapan baik), qiyas (analogi) atau ijtihad. Karena permasalahan aqidah, ibadah dan halhal yang telah ada ketentuannya (dalam Syariat). seperti pembagian warisan dan pidana termasuk perkara yang tidak ada tempat bagi hal-hal tersebut,

Adapun akal

Dikatakan, ‘seandainya hal ini disyari’atkan, tentunya beliau 35 orang pertama yang melaksanakannya’. Hal ini jika pengagungannya dikarenakan isra’dan mi’raj.

Jika untuk mengingat perjuangan Rasulullah 36 (sebagaimana dilakukan dengan perayaan maulid Nabi), maka (mestinya) Abu Bakrlah orang yang pertama melakukannya, lalu Umar, Utsman, Ali, setelah mereka yaitu para sahabat sesuai dengan kedudukan mereka disisi Allah, kemudian para tabi’in dan orang yang setelah mereka dari para imam agama. Padahal tidak seorangpun dari mere melakukan hal tersebut, walaupun sedikit. Ma cukuplah kita melakukan apa yang telah mencukupkan mereka.”13

Beliaupun berfatwa dalam Fatawa Wa Rasail “Peringatan isra’dan mi’raj merupakan perkara batil dan satu kebidahan. Semacam ini merupakan sikan meniru orang Yahudi dan Nashrani dalam memuliakan hari yang tidak diagungkan syari’at Pemilik kedudukan tinggi Rasulullah Muhammad n lah yang menetapkan syari’at. Dialah yang menjelaskan halal dan haram. Kemudian juga para Khulafa’ Rasyidin. Dan imam petunjuk dari para sahabat dan tabi’in tidak pernah diketahui melakukan peringatan tersebut.” Kemudian berkata lagi, “Maksudnya perayaan peringatan isra’ dan mi’raj merupakan bid’ah. Maka tidak boleh berserikat dalam hal tersebut.”14

4. Fatwa Syeikh Ibnu Baaz .15

Tidak disangsikan lagi, isra’ mi’raj merupakan tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kebenaran dan tingginya kedudukan Rasulullah disisi Allah Ta’alla. Sebagaimana dia termasuk tandatanda keagungan Allah dan ketinggian-Nya atas seluruh makhluk. Allah berfirman,

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS Al-Isra’: 1)

Dan telah mutawatir dari Rasulullah n bahwa beliau diangkat ke langit. Dibukakan pintu-pintunya sampai melewati langit yang ketujuh. Lalu Rabb berbicara kepadanya dengan sesuatu yang dikehendakinya dan diwajibkan kepadanya shalat lima waktu. Pertama kali Allah mewajibkan kepadanya lima puluh shalat, lalu senantiasa Nabi Muhammad 35 meminta keringanan sehingga menjadi lima shalat, tetapi pahalanya lima puluh karena satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Allah lah dzat yang harus dipuji dan disyukuri segala nikmat-Nya.

Dalam hadits yang shahih tidak ditemukan penentuan malam terjadinya isra’ dan mi’raj. Semua hadits yang menjelaskan penentuan malamnya tidak shahih dari Nabis menurut ulama hadits. Allah memiliki hikmah dalam melupakan manusia tentangnya. Seandainya ada penentuan yang absah pun, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan satu ibadah tertentu. Tidak boleh merayakan peringatannya, karena Nabi dan para sahabatnya tidak memperingatinya dan tidak pula mengkhususkan dengan ibadah tertentu. Seandainya perayaannya sebagai perkara yang disyari’atkan, maka tentu Rasulullah 35 telah menjelaskan kepada umatnya, baik dengan ucapan atau perbuatan beliau. Seandainya pernah dilakukan niscaya diketahui dan dikenal serta dinukil oleh para sahabatnya sa untuk kita. Karena mereka telah menyampaikan segala sesuatu yang dibutuhkan umat dan tidak melalaikan sedikitpun urusan agama ini, bahkan mereka orang yang berlomba kepada kebaikan. Maka seandainya peringatan malam isra’ dan mi’raj disyari’atkan, niscaya mereka orang pertama yang melakukannya. Apalagi Nabi ialah orang yang paling menasehati umatnya dan telah menyampaikan risalah agama sebaik-baiknya serta telah menunaikan amanah yang diembannya. Maka seandainya mengagungkan dan merayakan malam tersebut termasuk ketentuan agama, tentu beliau tidak melalaikan dan menyembunyikannya. Ketika hal tersebut tidak pernah dilakukan, maka jelaslah perayaan dan pengagungan malam tersebut tidak termasuk ajaran Islam. Begitulah Allah telah menyempurnakan agama Islam dan menyempurnakan nikmat untuk umatnya, serta mengingkari orang yang menambah syari’at Islam dengan sesuatu yang tidak diizinkan-Nya. Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agamamu.”

Demikian juga dalam firman-Nya,

اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗوَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orangorang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS Asy Syura :21)

Dalam hadits-hadits shahih, Rasulullah telah memperingatkan bahaya bid’ah dan menjelaskan, bahwa hal itu merupakan kesesatan: sebagai peringatan kepada umat, betapa besarnya bahaya bid’ah dan untuk menakut-nakuti agar tidak membuat-buatnya. Diantaranya hadits shahih yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Aisyah dari Nabize, beliau bersabda,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد

Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat Muslim,

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Barangsiapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya maka dia tertolak. (Riwayat Muslim).

Dan dalam shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah berkata, Rasulullah berkhutbah pada hari Jum’at dan mengatakan,

أما بعدُ فإنَّ خيرَ الحديثِ كتابُ اللهِ وخيرَ الهديِ هديُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وشرَّ الأمورِ محدثاتُها وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ

Ama Ba’du; sesungguhnya sebaik-baik ucapan ialah kitabullah dan sebaik-baik tauladan ialah contoh petunjuk Muhammad 3. Sejelek-jeleknya perkara yaitu yang dibuat-buat (baru), dan setiap kebid’ahan adalah sesat.

Dalam Sunan dari Al Irbaadh bin Saariyah , beliau berkata

وعظَنا رسول اللَّه موعظةً وجِلَت منها القلوبُ وذرِفَت منها العيونُ فقُلنا يا رسولَ اللَّهِ كأنَّها موعِظةُ مودِّعٍ فأوصِنا قالَ : أوصيكُم بتقوى اللَّهِ والسَّمعِ والطَّاعةِ وإن تأمَّرَ عليكُم عبدٌ وإنَّهُ من يعِشْ منكُم فسيَرى اختِلافًا كثيرًا فعليكُم بسنَّتي وسنَّةِ الخلفاءِ الرَّاشدينَ المَهْديِّينَ عَضُّوا عليها بالنَّواجذِ وإيَّاكُم ومُحدَثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ بدعةٍ ضلالةٌ

Rasulullah telah menasehati kami dengan nasehat yang mendalam, hati bergetar dan mata meneteskan airmata. Lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah s seakan-akan nasehat perpisahan,maka berilah kami wasiat!” Lalu beliau berkata, “Aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat, walaupun kalian dipimpin seorang budak, karena siapa yang hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka kalian harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa rosyidin yang memberi petunjuk setelahku. Berpeganglah kalian dan gigitlah (petunjuk itu) dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah dengan hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesat. (Riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dan banyak hadits lainnya yang semakna dengan ini.

Demikian juga peringatan serta ancaman tentang kebid’ahan telah ada dari sahabat Rasulullah E dan para salafush shalih setelah mereka. Dikarenakan kebid’ahan telah menjadikan penambahan agama dan syari’at yang tidak diizinkan Allah . Serta meniru musuh Allah dari kalangan kaum Yahudi dan Nashrani dalam penambahan syariat agama mereka dan perbuatan bidah mereka yang tidak ada hujjah dari Allah. Juga karena konsekwensi perayaan itu dapat menimbulkan pelecehan terhadap agama Islam, dengan tuduhan ketidak sempurnaannya. Dengan demikian jelas menimbulkan kerusakan dan kemungkaran yang besar. Padalah Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3,”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.”

Perayaan semacam ini juga menyelisihi secara terang-terangan hadits-hadits Rasulullah yang memperingatkan dan mengancam kebid’ahan.

Mudah-mudahan penjelasan melalui dalil-dali tersebut cukup menjadi petunjuk para pencari kebenaran untuk mengingkari da mengingatkan kebid’ahan in Sesungguhnya perayaan isra’mi’roi sedikitpun bukan merupakan syari’at Islam.16

Demikianlah keterangan para ulama seputar hukum merayakan peringatan isra’ dan mi’raj. Keterangan yang cukup jelas dan gamblang disertai dalil-dalil yang kuat. Kemudian masihkah kita melakukannya? Padahal perayaan tersebut merupakan kebid’ahan dan bukan termasuk ajaran Islam. Bahkan merupakan tambahan ke dalam syariat Islam dan penyerupaan amalan ahli kitab yang telah melakukan kebid’ahan dalam agama mereka sehingga menjadi rusak dan hancur. Sudahkan kita merenungkan bahaya bid’ah terhadap Islam? Cukuplah peringatan Rasulullah , para sahabat dan ulama Islam agar kita menyadari dan bangkit memperbaiki kondisi kaum muslimin untuk mencapai kejayaan. Mudah-mudahan kita dapat memahami dan mengamalkan, yaitu dengan meninggalkan perayaan tersebut. Perayaan yang telah banyak menghabiskan harta dan tenaga, akan tetapi justru merusak agama dan amal kita.

 

Footnote :


1) Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad Al Kinaaniy Al Asqaalaniy, seorang ulama besar dalam hadits dan Fiqh  pengarang kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, meninggal tahun 852 H

2) Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/203

3) Lihat ibid

4) Lihat Zaadul Ma’aad 1/57.

5) Al Baa’its hal 171.

6) Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal. 274.

7) Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad 1/58-59.

8) Beliau bernama Abu Zakariya Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad Ad Dimasyyty, dikenal dengan Ibeu Nahaas, serang ulama besar yang meninggal dalam perang menghadapi Perancis tahun 814 H.

9) Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal 279.

10) Beliau bersama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Haaj, Abu Abdillah Al-Abdari Al Fai, meninegal tahun 737 H

11) Lihat Al-Bide Al-Haultyah hal. 275, menukil dan Al Madkhal 1/294

12) Belinu bernama Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathit bin Abdirratuman bin Hasan bin Muhammad bin Atidil Wahaah Dilahirkan di Riyadh tahun dan H dan meninggal di bulan Ramadhan 1398 H Beliau pernah menjahat sebagal ketus Rabithah Alam Islam Helder Jumlah Islamiyah dan Mufti Agung kerajaan Saudi Arsbia sebelum Syelkh Ibnu Baaz

13) lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal, 276-279 menukil dari Fatawa Wa Rasail Asy-Syeikh Muhammad bin Ibrahim 397-100.

14) Ibid 3/103

15) Beliau bernama Abdul Aziz bin Ahdillah bin Ahdirrahman bin Baaz, dilahirkan tahun 1330 H di Riyadh Beliau seorang Alim besar abad ini dan menjadi Mufti Agung Kerajaan Saudi Arabia menggantikan Syeikh Muhammad bin Ibrahim Ali Asy Syeikh sampai meninggal tahun 1420 H.

16) Lihat catatan kaki kitab Fatawa Lajnah Daimah 3/64-66.


Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VI/1423H/2002M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/apakah-perayaan-isra-miraj-bidah/